Teringat ke masa-masa SD dulu, guru sering menunjukkan gambar yang menjadi ikon negara-negara di dunia. Ada menara Eifel, Colessium, Piramida, dan lainnya. Maklum, zaman itu belum secanggih zaman ini yang semuanya bisa diakses dalam hitungan detik seperti tukang sulap menjentikan jarinya “Sim salabim”, hehe.

Ka’bah tentu saja gambar yang paling sering terlihat, karena terpajang di mana-mana; di dinding rumah, di kalender, di buku agama, dan lainnya semakin memotivasi untuk berangkat ke Tanah Suci. Apalagi di musim haji, siaran televisi hampir selalu memberitakan potret umat Islam yang sedang beribadah di Tanah Suci, terutama saat Tawaf mengelilingi Ka’bah.

Sadarkah kita, bahwa rangkaian proses yang kita lalui sejak duduk di bangku SD sampai jutaan informasi yang kita kumpulkan hingga saat ini kita peroleh dari membaca. Kemudian kita menuliskan impian itu di buku yang paling kita sayangi, buku yang paling mengerti kita. Teman yang tidak pernah marah; meskipun dicoret, dilempar, bahkan dirobek berkeping-keping.

Potret kehidupan kita di masa dulu, dari kita dikenalkan dengan gambar-gambar yang mempesona disertai narasi keindahan dan kemegahannya, kemudian kita disuruh memilih akan mengunjungi tujuan yang mana di masa depan adalah masa-masa yang paling indah dalam hidup ini. Apalagi dibanding saat ini, kita disibukkan dengan banyak hal, bahkan untuk bernafas sejenak merasakan oksigen memenuhi paru-paru kita seakan tidak punya waktu untuk melakukannya.

Kita mungkin sudah lupa bahwa diri kita hari ini adalah bentukan dari diri kita di masa lalu. Pengetahuan kita saat ini, bukanlah pengetahuan yang kita peroleh satu jam, satu hari, atau satu minggu yang lalu. Tetapi diri kita dari masa lalu dengan penuh kepolosan yang dengan pede-nya berkata akan berkunjung ke Eifel, melihat saksi kedurhakaan Fir’aun di Mesir, atau melihat keindahan Taj Mahal secara langsung tanpa berpikir bagaimana caranya.

Namun sungguh mengejutkan, skor membaca Indonesia di tahun 2018 berada di rangking 72 dari 77 negara. Survei itu dilakukan oleh Programme for International Student Assessment atau lebih dikenal dengan sebutan PISA. Sebanyak 600 ribu anak usia 15 tahun yang mereka survei di tahun 2018 menempatkan posisi Indonesia di rangking 72.

Kita sebagai guru mungkin saja bergumam, saat survei ini berlangsung kan bukan zaman saya bersekolah. Tapi itu terjadi saat kita jadi guru mereka. Mungkin sebagian kita berujar “PISA itu apaan sich?” Menanggapi pertanyaan seperti ini, sepertinya saya sudah kehabisan kata-kata, no comment, hehe!

Iqro’!

Mungkin kita harus flashback kembali ke zaman SD dulu saat guru agama menyuruh kita untuk menghafal dan melafalkan QS Al-‘Alaq 1-5. Wahyu yang pertama kali turun, perintah membaca. Belum lupa kan? Hehe.

Berdasarkan wahyu yang pertama kali turun, tidak ada keraguan bahwa membaca merupakan ajaran dan perintah Islam. Kita membaca dengan ikhlas dan karena Allah Swt. Kejahilan adalah keadaan yang harus kita jauhi. Banyak ayat Alquran dan hadis Nabi Saw yang memerintahkan kita menjadi orang yang berilmu. Kita membaca untuk meraih keutamaan orang-orang yang berilmu yang disebut dalam Alquran dan Hadis, sekaligus menjauhkan diri kita dari kejahilan.

Membaca kelihatannya sederhana dan tidak memberatkan. Namun, saat kegiatan membaca berlangsung terjadi proses yang sangat kompleks. Gagasan yang diajukan oleh penulis dalam bukunya tidak serta merta kita terima apa adanya. Ada proses tarik-menarik, tolak-menolak antara gagasan yang dilontarkan dengan pemahaman kita. Proses inilah yang kemudian menghasilkan pemahaman baru yang lebih kuat dari sebelumnya, meskipun tidak terjadi seketika.

Penutup

Rendahnya kemampuan membaca anak didik kita yang menempati rangking 74 dari 79 negara yang disurvei tidaklah semata-mata kesalahan mereka. Namun tidak elok juga menyalahkan guru, meskipun tidak dapat dibenarkan jua. Introspeksi diri adalah solusi yang lebih adil. Introspeksi memiliki daya dorong yang luar biasa tanpa menyalahkan pihak lain. Tetapi dengan jalan menyalahkan diri sendiri dan membangun tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pribadi yang bersahabat dengan buku.

Tekad yang kita bangun kemudian kita tularkan kepada siswa kita dengan pendekatan yang lebih menarik, bukan paksaan. Membangun kebiasaan siswa kita agar mereka mencintai membaca, bersama-sama dengan kita, guru mereka. Tidak elok memerintah siswa untuk membaca, sementara kita sendiri tidak melakukannya.

Meskipun kita tidak akan pernah menginjakkan kaki di bulan, setidaknya kita mengetahui informasi tentang bulan dari orang-orang yang sudah pernah ke sana. Tanpa ilmu pengetahuan, kita tidak akan mengetahui kalau bumi yang kita tempati ini hanya setitik dalam hamparan alam semesta. Itu semua tidak akan kita ketahui tanpa membaca.

Yuk, biasakan diri kita dengan membaca, karena membaca adalah jendela dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *